Headline - Harga Minyak Jika Pecah Perang AS-Iran
INILAHCOM, Jakarta--Masih kuat dalam ingatan Mitch Kahn, pialang di pasar komoditas berjangka di New York, bagaimana harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) melonjak US$10 dalam waktu satu malam ketika terjadi perang di Irak pada 2004.
Kenaikan harga tak bertahan lama. Keesokan harinya, harga minyak mentah per barel melemah US$20.
Fluktuasi semacam ini, kecil kemungkinan akan terulang dewasa ini.
"Pergerakan pasar berbeda antara dulu dan sekarang," kata Kahn.
Situasinya berbeda, baik terkait di mana minyak diproduksi, bagaimana minyak dimurnikan dan bagaimana minyak diperdagangkan.
Semuanya berbeda jauh dengan kondisi ketika terjadi perang di Irak pada 2004.
Pada hari Jumat (3/1/2020), ketika jenderal paling berpengaruh di Iran, Qasem Soleimani, terbunuh dalam serangan udara AS di bandara Baghdad, harga minyak mentah Brent menguat lebih dari 4% menjadi US$69,5 per barel.
Harga saham perusahaan minyak BP dan Royal Dutch Shell naik sekitar 1,5%.
Menurut analis Bank of America, Michael Widmer, perbedaan terbesar yang mempengaruhi harga minyak, antara 2004 dan 2020 adalah sekarang ini produki minyak AS cukup besar, yang membuat mereka tak terlalu tergantung dengan minyak mentah dari Timur Tengah.
"Telah terjadi perubahan besar," katanya.
OPEC tak sekuat dulu
Ia mencontohkan serangan drone terhadap fasilitas minyak Arab Saudi pada September 2019.
"Ini serangan serius terhadap pasar minyak global, terkait dengan pasok, dan [ternyata] dampak yang ditimbulkan tak terlalu lama," jelas Widmer.
Pada hari ketika fasilitas Saudi diserang, harga minyak naik US$10 per barel, namun setelah itu nyaris tak ada pergerakan yang signifikan.
Sekitar dua pekan setelahnya, harga minyak turun lagi di bawah angka US$60 per barel.
Di sisi lain, situasi politik memanas, ditandai dengan "perang kata-kata antara AS dan Iran".
Kekhawatiran tentang gejolak harga minyak tidak menjadi kekhawatiran besar karena sekarang lebih banyak negara memproduksi minyak, terutama Rusia dan AS.
Di luar faktor ini, organisasi negara-negara pengekspor minyak, OPEC, tak lagi sekuat dulu.
"Sekarang, ketika OPEC memangkas produksi minyak, maka negara-negara lain akan menutup pasok yang dikurangi oleh OPEC," kata Widmer.
Alan Gelder, kepala penelitian dan pemasaran Wood Mackenzie, mengatakan dulu setengah dari pasok minyak dunia berasal dari para anggota OPEC. Sekarang proporsinya kurang dari sepertiga.
Saat pecah Perang Teluk pada 1990-an, minyak berasal dari dua sumber: OPEC atau dari kawasan yang berisiko dan mahal, seperti Laut Utara.
Menemukan dan mendapatkan minyak dari dasar laut, terutama 40 tahun lalu, tak bisa diprediksi selain juga berbahaya.
Sekarang dengan metode fracking untuk mengeruk minyak di Amerika Utara, pasok di pasar internasional menjadi berlebih.
"Dewasa ini lebih banyak pemain di pasar minyak dunia ... selain itu, arus informasi juga lebih cepat didapat," jelas Gelder.
Ketika fasilitas minyak Saudi diserang pada September 2019, segera dengan cepat tersedia foto-foto satelit yang memperlihatkan aktivitas di fasilitas ini relatif tidak terganggu oleh dampak serangan.
Bisa diketahui bahwa ada kapa-kapal tanker yang meninggalkan pelabuhan dan kegiatan di fasilitas minyak juga bisa dimulai lagi dengan cepat.
"Di masa lalu, orang-orang akan sibuk mencari tahu apa yang terjadi," katanya.
Sekarang, OPEC dan Rusia setuju untuk mengontrol jumlah minyak yang diproduksi.
Ini menyebabkan sulit untuk memprediksi apa yang terjadi dengan harga minyak jika ketegangan di Timur Tengah meningkat.
Dalam jangka pendek, harga akan cenderung naik seiring dengan kekhawatiran Iran akan melakukan serangan balasan.
Serangan terhadap pipa minyak perusahaan AS atau serangan di daerah eksplorasi perusahaan Barat atau AS akan mendorong kenaikan harga.
Jika ketegangan bisa dikurangi dan ketika pihak-pihak yang bertikai bisa menahan diri, maka dengan sendirinya harga minyak akan turun. [bbc/lat]
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Headline - Harga Minyak Jika Pecah Perang AS-Iran"
Post a Comment